Cinta Yang Menyakitkan
Dia tampan, dia juga begitu baik dan lembut. Dia perhatian, dan selalu siap menjadi tameng bagiku di setiap waktu. Satu nama yang kuingat saat akan tidur, satu orang yang selalu ingin kurasakan dekap peluknya.
Panji Nasation Pratama, pria berumur 24 tahun, tubuhnya tidak terlalu kurus. Rambut dengan warna hitam, tertata agak berantakan dan agak panjang.
Dia adalah supir pribadiku, orang asing dari Asia yang begitu menggoda. Panji punya wajah yang terlihat berbeda, dia memiliki garis wajah yang tegas dan terlihat sebagai pemimpin.
Aku hanya curiga jika Panji adalah seseorang yang berdarah campuran.
Pagi ini, aku duduk melamun di kamarku. Membayangkan hal-hal gila yang ada di mimpiku semalam. Udara dingin masuk dan menyentuh setiap inci kulit putihku, bahkan matahari masih terlihat enggan dan bersembunyi di balik awan hitam.
Namaku, Lexsy Hubert, aku berumur 20 tahun. Aku memiliki rambut panjang sampai ke bokongku, bibirku terlihat agak tebal di bagian atas dan agak tipis di bagian bawah, iris mataku sebiru lautan, dan rambutku berwarna pirang.
Kami tinggal di Belanda, negara kincir angin yang begitu indah bagiku tapi entah bagi orang lain.
“Lexsy,” Ku dengar suara ibuku di luar sana. Dia sepertinya akan pamit padaku, dan pergi berbulan-bulan. Sedangkan ayahku sudah pergi selama setahun ini.
“Yes Mom.” Aku berdiri, lalu membuka pintu kamarku. Kulihat wanita berumur 45 tahun, dia adalah ibuku, Nyonya Gless Hubert.
“Mom akan pergi beberapa bulan. Panji akan menemanimu di rumah, dan menjadi pengawalmu seperti biasa,”
“Ya, aku mengerti posisi Mommy,” aku sedang berdusta kali ini. Aku tak mengerti posisi orang tuaku, mereka sama-sama sibuk dan mengabaikan ku. Ku tatap mata ibuku, aku ingin memohon agar ia tak pergi tapi semuanya tercekat di tenggorokan.
“Jaga dirimu sayang, Mom akan menelepon saat sampai di L.A,”
Aku mengangguk, lalu ibu memelukku. Pelukannya tak hangat, bahkan menyiksa bagiku. Pelukan ini berbeda dengan pelukan yang ku dapat bulan lalu.
“Baik, Mommy harus berangkat sayang, kau harus selalu sehat,”
Aku hanya mengangguk, tersenyum canggung dan kembali memasang wajah datar saat ibuku berlalu pergi. Selalu begitu setiap waktu, dan aku sudah terbiasa. Ku putuskan untuk masuk lagi, merenung di depan jendela kamar dan menatap pepohonan di luar sana.
Pagar tinggi menjulang berada di depan mansion ini, tembok tinggi membatasi siapa saja untuk masuk. Mansion ini bagai penjara, dan aku adalah tahanan bagi penjara itu sendiri.
“Nona, Anda harus bersiap untuk menghadiri les piano,”
Aku tahu ini suara siapa, suara seorang pria yang menggantikan sosok ayah, menggantikan sosok ibu. Orang ini juga menjadi kakak, menjadi segalanya bagiku.
“Panji, aku tak ingin keluar untuk sekarang,” Jawaban macam apa ini. Aku ingin keluar, aku ingin pergi, aku ingin bebas dan lepas tanpa memikirkan sampah menjijikan dalam hidupku.
“Anda harus pergi, hari ini adalah penentu kelulusan Anda dari sana,”
Aku benci ini, aku tak perlu kelulusan dari les piano yang orang tuaku atur. Mereka mengatur hidupku, mereka membuatku terkekang. Mereka melawan keinginanku untuk menjadi seorang pelukis atau seorang penulis.
Ku embuskan napasku, mataku menatap Panji yang tetap setia berdiri di depan pintu. Pria itu menatapku, begitu tajam dan mengintimidasi.
“Tak ada penolakan untuk itu, Anda tak bisa membuat tugas saya menjadi berantakan,”
Ucapan itu terus saja mengalir dari bibir manisnya. Wajah asia yang bercampur eropa itu tak beralih dan hanya menghadapku.
“Mandikan aku, maka aku akan melakukan segalanya,” aku sengaja mengatakan hal itu. Aku tahu dia tak akan berani, dan akan mengakhiri perdebatan kami.
Namun, dia melangkah. Mendekatiku dan menatapku tanpa minat, matanya mengunci tatapannya padaku, bibirnya tidak mengumbar senyum. Raut wajah penggaris menyebalkan, raut wajah yang membosankan dan cukup membuatku ingin marah bahkan mencacinya.
“Berhen–” ucapan ku terhenti, aku hanya bisa terdiam saat dia menggendong tubuhku dan membawaku ke dalam kamar mandi.
“Panji, aku dingin! Jangan!” Teriakanku tak menghentikannya, dia tetap melakukan tugasnya. Melepas semua benang yang ada di tubuhku. Aku berhenti, merasa jika diriku malu. Aku menunduk, wajahku jelas saja memerah menahan malu.
Perlahan, kurasakan air membasahi tubuhku. Shower itu mengeluarkan air dingin dan membuatku terkejut. Panji melakukan tugasnya, membasahi seluruh tubuhku, lalu ia juga menyabuniku.
Aku diam, tak berani berucap atau melakukan apapun. Aku hanya bisa menunduk, dan menahan rona wajahku saat tangannya menyapukan tangannya ke daerah dadaku.
Tangan itu kini berada di buah dadaku, mengelusnya dengan lembut seakan aku adalah barang berharga yang akan pecah jika dia salah dalam bertindak.
Terasa geli, aku memejamkan mata dan menggigit bibirku. Kedua tangan Panji kini bermain di kedua buah dadaku, putingnya mengeras dan aku ingin dia menyentuhnya lagi, bahkan lebih lama.
“Wajah Anda memerah, berhenti berpikir kotor Nona,”
Aku diam, aku malu, apalagi saat ia menyentuh kewanitaanku. Menggesekan tangannya di sana, dan membersihkan bagian dalam dari lipatan kewanitaanku.
“Pan–ji!” suaraku sedikit bergetar, jemari Panji menyentuh klitorisku, dan itu begitu geli. Aku ingin dia menyentuhnya lagi, tapi wajahnya menatapku dingin.
“Saya tak ingin berbuat macam-macam pada Anda Nona, jadi berhenti bersuara dan saya akan menyelesaikan acara mandi tak berguna ini,”
Aku mengangguk, dan dengan bodohnya menurut saat Panji membilas tubuhku dengan air dingin. Rasa segar merayap ke seluruh tubuhku, syaraf ku terbangun dari mati surinya lagi.
Beberapa menit berlalu, aku sudah berganti pakaian. Kutatap seseorang yang kini mengeringkan rambut panjangku, Panji masih berusaha mengusirnya dengan lembut.
“Selesai, mari kita berangkat Nona,”
Aku hanya menurut, aku ingat saat dia memasangkan bajuku, dia juga yang memasangkan celana dalam serta bra yang aku gunakan.
“Berhenti termenung, dan bersikaplah seperti biasa,”
Aku mengangkat kepalaku dan menatapnya dengan polos. Dia balas menatapku, lalu memamerkan senyum manis yang tak pernah bosan ia pasang saat berada di depan umum ketika bersamaku.
__
Perjalanan kami hanya sunyi, tak ada siapapun rela bersuara. Aku duduk di kursi belakang, dan Panji berada di kursi kemudi. Tangannya terus berada pada stir mobil, dengan posisi duduk yang tegak, lalu matanya fokus pada jalanan.
Wajah penggaris itu terlihat begitu serius, bahkan tak ada yang berani untuk menegurnya saat ini. Aku hanya mendesah pasrah, mengingat kejadian pagi tadi dan itu membuatku malu.
Panji, kau harus bertanggung jawab! Tak ada yang tersisa dari diriku, hanya ada rasa penasaran saat Panji akan menciumku seperti di dalam mimpi.
“Kita sampai,”
Aku menatapnya, dan dia keluar dari mobil. Ku lihat tempat ini sudah begitu ramai, bahkan orang-orang sedang berlalu lalang sambil berbicara pada satu dengan yang lain.
Suara mobil kembali terbuka, tangan Panji terulur dan aku menyambutnya dengan canggung. Ini tak seperti biasanya, dia menatapku lama.
“Berhenti berpikir kotor Nona, Anda sangat tidak sopan!”
“A–,” percuma! Aku tak ingin bicara saat ini.
Panji menatapku tajam dan itu membuatku tak nyaman.
“Aku pergi,” hanya itu yang bisa kuucapkan. Dia hanya diam dan aku melangkah perlahan.
“Panji, aku tak ingin pergi,” ucapku saat langkah terhenti. Aku menatapnya, berharap ia juga menatapku.
“Baik, saya bosan untuk memaksa Anda. Ke mana Anda ingin pergi?”
“Ke mana saja, asal bersamamu!”
Panji tersenyum, matanya menatapku dan dia berlalu pergi masuk kedalam mobil. Aku juga mengikuti langkahnya, membuka pintu bagian belakang.
“Salah, kau harus duduk di sampingku,”
Beberapa kali aku mencerna ucapannya. Dan beberapa kali itu pula aku mengedipkan mataku tanpa sadar.
“Mak-”
“Duduk di sini,” Kutatap kursi di sampingnya dan dia terkekeh.
__
“Panji,”
“Hum …”
Aku terdiam, aku menunggu Panji bicara lebih banyak padaku. Aku menatap pria yang berumur empat tahun lebih tua dariku.
“Aku,”
“Kau kenapa?”
Kami memang akan bicara seperti ini, apalagi saat hanya berdua. Dia terlalu santai dan itu terlalu nyaman untukku.
“Aku, aku penasaran!” Dia menatapku, lalu menghentikan laju mobil. Kami kembali saling diam, dan ini adalah bagian yang paling ku benci.
“Penasaran? Tentang apa?”
“Kenapa, rasanya sangat nyaman? Maksudku, aku merasa dadaku bergetar saat ada di dekatmu. Bukan, lebih tepatnya aku merasa jantungku tak normal saat bersamamu,”
Panji hanya memasang wajah datarnya. Aku tak mengerti, bukankah dia tersenyum hangat beberapa saat lalu?
“Lupakan perasaan tak berguna itu,”
“Perasaan?” aku menatapnya semakin aneh, perasaan apa yang aku miliki?
“Kau terlalu bodoh Lexsy,”
Aku menatap Panji, bingung dengan pernyataan yang ia berikan padaku.
“Aku–”
“Jangan pernah mencintaiku, aku tahu hatimu dan aku tak ingin kau menjebak dirimu padaku,”
Aku terdiam, rasanya sakit tapi aku tak bisa menangis. Adakah hal yang lebih buruk daripada ini? Ditolak padahal dirimu tak pernah mengungkapkan. Ini mengerikan bagiku, Panji mengusirku langsung tanpa belas kasihan.
“Panji, aku–”
“Jangan katakan cinta Lexsy, kau tak akan sanggup menjalani cinta ini. Kau masih terlalu polos,”
Ku tatap matanya, tak sanggup? Aku bisa melakukan apa saja. Tanganku perlahan membuka kancing kemeja yang kukenakan. Mataku menatap Panji dalam, serat akan perasaan kecewa yang dalam atas pernyataannya.
Orang bilang mengorbankan segala sesuatu demi cinta itu salah, tapi inilah cara terakhirku. Aku hanya ingin dia tahu, jika aku bisa dan aku sanggup.
Kancing pada kemeja ku telah terlepas, ku tatap Panji dan ku raih tangannya. Kuletakkan tangannya di buah dadaku, dan dia hanya menatapku datar.
“Panji … aku ingin ini,” ujarku pelan.
“Kau akan menyesal,”
Panji meremas buah dadaku dengan kasar, dia juga menyeringai dan melepasnya dengan cepat.
“Kemari, aku akan memangkumu,”
Aku menurut, dan duduk di pangkuan Panji, kami saling bertatapan. Panji melepas bra yang kukenakan, dia juga langsung mengulum puting keras buah dadaku.
“Akhh … Panji,”
Aku mendesah, terasa begitu menyenangkan dan geli. Aku juga merasakan sebelah tangannya memainkan puting keras buah dadaku. Ditariknya dengan kasar, dan sensasinya begitu menyenangkan.
“Ssstt… aah, gel–”
Panji masih terus mengulumnya, terasa begitu basah di kewanitaanku. Dia masih terus menyusu bahkan menggigit pelan puting payudaraku.
“Akh! Aah,”
Desahan itu terus ku keluarkan dari bibirku, dan beberapa menit setelahnya Panji menghentikan ulahnya. Napasku terengah, aku bahkan bergetar menahan sensasi aneh yang begitu menyenangkan. Kewanitaanku terasa berdenyut, dan basah.
“Kau ingin melanjutkan?”
“Tapi, ini–”
“Bercinta di dalam mobil bukan hal yang merugikan,”
Panji membuka pintu mobil, dan menatapku.
“Turunlah, aku ingin di kursi belakang. Di sini terlalu sempit,”
Aku menurut, beruntung kami berada di tempat sepi, dan cuaca sedikit mendung. Panji juga keluar dan membuka pintu mobil, ditariknya tanganku dan membaringkan aku di kursi. Panji menindih tubuhku, tangannya meraba pahaku dan menarik celana dalamku dengan kasar.
“Kau sudah basah, luar biasa!”
Aku hanya bisa menahan napasku, tangan Panji membelai lembut kewanitaanku. Satu jarinya dimasukkan ke dalam lubang kewanitaanku.
“Achhh, Pan–”
Dua jarinya masuk, dan aku menggigit bibirku, dia memainkannya dengan cepat membuat sensasi geli dan nyaman menjalar ke semua syaraf pada tubuhku. Panji memainkan klitorisku dengan pelan, dia juga menjilat payudaraku dan menyusu di sana mengalahkan bayi kelaparan.
“Sssttt please,”
Panji melepas kulumannya, dia menatapku lalu tersenyum. Dia tak berkata apapun, dan beralih menjilat kewanitaanku. Terasa geli, sensasi yang terlalu memanjakan tubuhku yang enggan ku lepaskan. Aku menjepit kepalanya dengan pahaku, meminta dia melakukannya lebih dan lebih. Ini nikmat, apalagi saat lidahnya masuk ke dalam lubang kewanitaanku. Dia mengecup lembut klitorisku dan aku mendesah nikmat.
Panji mencakar pahaku, terasa sakit namun kecupan pada klitorisku menggantinya dengan rasa nikmat. Suara desahan menggema dan membuat tempat sunyi ini menjadi bising, rasanya begitu panas dan aku ingin membuka semua pakaianku. Tanganku meremas buah dadaku sendiri, memainkan puting yang makin mengeras.
“Ohhh, ah … ah …”
Aku hanya bisa mendesah, kewanitaanku rasanya berdenyut, bahkan terasa jika aku begitu ingin kencing dan mengeluarkan cairan dari dalam sana.
Panji memainkan klitorisku dengan lidahnya, terasa juga jika dia memasukan tiga jarinya kedalam lubang kewanitaanku.
“Panji!!! Ahhh, please help me!”
Desahanku membawa puncak pada nikmat yang Panji berikan, terasa cairan di dalam kewanitaanku merembes keluar. Tubuhku lemah, napasku naik turun dan memburu.
Terasa geli, Panji menjilat semua cairan surga milikku. Dia tak berkata apapun, berdiri dan menatapku.
Panji membuka bajunya, terlihat tubuh dengan otot perut yang menggoda, tubuh yang membuat diriku ingin merasakan dekapan hangat darinya. Mataku beralih pada celana yang kini sudah ditanggalkan dari tubuhnya, hanya menyisakan celana dalam dengan kejantanan yang sudah membesar di balik kain tipis itu.
Panji tak bicara apapun,dia menarik tanganku dan aku duduk di depan pintu mobil. Ia membuka celana dalamnya, dan mataku hanya bisa menatap kagum pada kejantanan yang besar dan panjang. Uratnya sedikit terlihat, dan ada lubang kecil pada ujung daging berwarna pink berbentuk helm.
Tanganku memegang kejantanan Panji, begitu hangat dan keras. Aku membayangkan jika kejantanannya masuk ke dalam lubang kewanitaanku. Tanpa kata, ku jilat ujung kejantanannya lalu ku jilat batang keras menggoda milik Panji.
“Lexss …”
Suara serak panji terdengar, ku tutup mata dan ku masukan kejantanan panji kedalam mulutku, kuhisap dan kumainkan dua bola kembar milik Panji.
Panji menggerakan pinggulnya, tangannya menjambak rambutku dan menekan kepalaku agar tak melepaskan lumatan pada kejantanannya.
“Acckkk,”
Suara serak itu kembali terdengar, begitu indah dan aku menyukainya. Aku terus mengulum kejantanan panji, dan dia masih memaju mundurkan pinggulnya.
“Lexss ah, faster bitch!”
Panji masih mengerang nikmat, dia juga memejamkan matanya rapat dan tangannya semakin kuat menekan kepalaku. Pergerakan pinggul Panji semakin cepat, aku menahan napasku.
Crot!
Crot!
Crot!
Sperma yang hangat memenuhi mulutku, menembak tepat ke kerongkonganku. Aku hampir saja muntah, rasa asin dan amis memenuhi rongga mulutku. Panji masih menekan kepalaku, kejantanannya di tekan sedalam mungkin ke dalam mulutku.
“Telan!”
Begitu perintah yang ia berikan padaku. Aku hanya menurut, mataku menatapnya dan dia hanya menyeringai ke arahku.
__
Aku masih terdiam, memandangi tubuhku yang masih saja telanjang. Dua jam lalu setelah kejadian menyenangkan itu, aku hanya bisa tersenyum sendiri. Panji belum memasukan kejantanannya kedalam lubang kewanitaanku, dia memilih duduk di sampingku dan membakar rokok lalu menghisapnya.
Entah sudah berapa batang yang Panji habiskan, dia hanya diam. Tak bicara padaku, tidak juga memandang ke arahku. Suasana masih saja sepi, aku sadar jika kami berada jauh dari pusat kota. Hutan lebat di samping kiri dan kanan, jalanan sepi yang kini terlihat semakin mati saat hujan.
“Panji,”
Dia tak merespon, hanya ada asap rokok yang diembuskan dari bibirnya. Aku kembali diam, menelan kasar ludahku dan menahan napasku sendiri.
Rasanya sangat gugup, aku membayangkan kejadian tadi dan berharap mengulang kejadian tersebut. Masih terbayang, kejantanan besar dan panjang yang masuk kedalam mulutku, masih terasa amis dan asin dari sperma yang ku telan.
“Kita pulang,”
Ucapan itu akhirnya ia keluarkan, Panji menatapku dan aku menggeleng. Aku tahu, dia ingin pergi ke kamar pelayan pribadiku. Aku tahu mereka sering melakukan hal lebih, bahkan ribuan kali lipat dari yang kami lakukan.
Panji selalu menemui pelayan itu saat ia selesai menemaniku tidur, ia akan pergi kesana saat aku terlelap dalam pelukannya.
Aku hanya bisa menahan napasku saat berada di balik pintu, mendengar desahan menjijikan milik pelayanku, dan mendengar Panji mendesahkan namanya berulang kali.
Tidak, aku akan pura-pura tidur saat ia bersamaku. Aku tak pernah bisa tidur, jika ia tak terlelap bersamaku. Saat Panji melepaskan pelukannya, saat itu pula aku terbangun dan mengikuti langkahnya dari jauh.
“Aku ingin kau menyentuhku lagi, aku ingin kau memasukiku dan mendesahkan namaku!”
Panji mendesah lelah, matanya menatapku dan aku ketakutan saat ia melempar batangan rokok yang masih panjang keluar dari mobil.
“Kau!”
Dia mengacungkan jari telunjuknya padaku, tepat di mataku dengan aura dingin yang kini makin membekukan diriku.
“Hanya sekali, sesudah itu tidak lagi,”
Aku mendorong Panji, tubuhnya kini bersandar di pintu mobil dan aku mendekatkan wajahku, ku kulum bibir Panji dengan paksa, tangan kananku meraba kejantanan Panji yang kini terbungkus celana dalam. Dia hanya diam, tapi aku terus melakukannya. Aku terus meremas kejantanan Panji yang perlahan membesar, aku menggigit bibir bawahnya dan memasukan lidahku ke dalam mulutnya.
Panji melayaniku, dia membalas ciumanku dengan kasar. Tangan Panji, meremas buah dadaku, dan dia menggigit lidahku.Panji hanya diam, bahkan buah dadaku kini bersentuhan dengan tubuh telanjang Panji, aku memasukan tanganku kedalam celana yang Panji kenakan. Ku belai kejantanan besar itu, terasa keras dan aku memainkan kedua bola kembar yang menemani kejantanan Panji.
Terasa sakit, bahkan aku menahannya dan tetap melanjutkan permainan kami. Dia melepaskan tautan bibir kami, mengecup leherku dan menggigit leherku pelan. Panji juga menjilat daun telingaku, dan aku hanya bisa mendesah sambil terus meremas kejantanan Panji.
Tangan Panji beralih menyentuh kewanitaanku, memasukan tiga jari sekaligus dengan kasar.
“Pan– aaacc! Panji!”
Aku mendesah, terasa sakit saat kukunya mengenai daerah intimku, menusuknya dengan kasar dan cepat. Aku melepaskan genggaman tanganku pada kejantan Panji, dan fokus pada rasa nikmat pada tubuhku.
Panji melepaskanku, mendorong tubuhku, dan melepas celananya. Dia langsung memasukan kejantanannya dengan kasar. Kepalaku terbentur pada pintu mobil, kejantanan itu merobek selaput yang ada di dalam kewanitaanku.
“Aaahhh,”
Desahan panjang ku suarakan, rasanya begitu sakit. Panji bahkan tak memberi waktu padaku, dia maju mundurkan pinggulnya cepat dan tak peduli pada posisi yang begitu menyakitkan ini.
Panji tak menatapku tajam, aku hanya bisa memejamkan mata dan terus bertahan. Rasanya begitu aneh, kewanitaanku semakin gatal dan berdenyut.
Kejantanan Panji terus keluar dan masuk begitu dalam ke dalam lubang kewanitaanku. Rasanya sesak namun nikmat, gesekan dari detik demi detik terus membuatku mendesah, aku merasakan jika kejantanan Panji begitu keras, aku merasakan lemah saat cairan di dalam tubuhku keluar.
Panji tak memberikanku waktu untuk mengatur napas, dia terus bermain bahkan tak peduli pada tubuh lemahku. Panji mencabut paksa kejantanannya dan membuatku bernapas lega.
Namun, cairan bening menyembur cepat dari kewanitaanku. Rasanya begitu puas, aku tak bisa menjelaskan rasanya. Yang ada hanya helaan napas panjang dan tubuhku yang bergetar.
Panji menarik tanganku, membuka pintu mobil dan membawaku keluar. Dia membawaku ke depan mobil, dan membuatku dalam posisi membelakanginya dan menungging.
Aku hanya bisa menurut, Panji tak berkata apapun. Tetesan air hujan membuat tubuh kami basah, dan sensasi dingin menyegarkan tak cukup memadamkan panas pada tubuhku.
“Ahhhh, Panji! Leb-ih dalam,”
Aku merasakan kejantanan panji kembali masuk, begitu dalam dan itu menyentuh mulut rahimku. Terasa geli dan aku merasa kenikmatan yang luar biasa. Masih dengan posisi yang sama, aku hanya bisa mendesah dan meringis. Karena terlalu kuat tubuhku terbentur beberapa kali dan kini memeluk bagian depan mobil.
Panji tak pernah lelah, dia tak pernah peduli jika kakiku sudah begitu lemah, bahkan tubuhku bergetar hebat. Beberapa kali juga aku mengeluarkan cairan dari kewanitaanku.
Terasa begitu hebat, tubuhku lemah. Panji tak mengakhiri permainannya, dia mencabut kejantanannya dan kembali memasukkan tanpa perasaan ke lubang anusku. Aku terkejut, aku menangis dan hujan menjadi saksi. Suara rintihan sakit terdengar nyaring, tak ada yang lebih sakit daripada ini.
Semakin kuat aku meminta berhenti, Panji semakin kuat menggoyangkan pinggulnya. Lubang anusku terasa robek, dan itu karena ulah kejantanan Panji yang begitu besar dan panjang.
“Hen- ah … ah … ah …”
Aku ingin mengatakan berhenti, tapi Panji tak mendengarkannya. Rasa sakit mengalahkan rasa nikmat beberapa saat lalu. Panji meremas kuat buah dadaku, aku memejam erat dan menangis di iringi hujan.
Masih, Panji terus menggerakan pinggulnya maju dan mundur dengan cepat, aku hanya merasa ingin pingsan dan mengakhiri segalanya.
“Pan-ji,”
Hanya suara lemah itu yang bisa ku ucapkan, aku tak sanggup lagi. Percintaan kami begitu menyiksa.
“Lexsy! Ah … kau, kau nikmat sayang …”
Erangan itu terus Panji suarakan, dia menganggap ini nikmat tapi aku merasa ini siksaan bagiku. Panji tak akan mau berhenti dengan cepat, dia semakin menggila dan menggoyangkan pinggulnya semakin cepat.
“Ahhh …”
Desahan itu terdengar panjang saat Panji mencabut kejantanannya dari lubang anusku, aku membuka mata dan merasakan kebebasan. Masih terasa sangat sakit, tapi ini jauh lebih baik dari beberapa menit lalu.
“Accch!!!”
Aku kembali mendesah, kejantanan panji kembali masuk, dan kini dia melakukannya dengan pelan, Panji juga mengulum daun telingaku.
“Lexss … acchh …”
Hanya desahan itu yang aku dengar, Panji tak pernah berniat untuk berhenti. Perlahan, kurasakan sakit pada lubang anusku. Tak cukup kejantannya, Panji juga memasukan jari telunjuknya.
Mataku tertutup, aku menangis lagi dan tak menikmati permainan ini. Panji kembali mencabut kejantanannya, dia mendorongku dan aku terhempas di atas aspal jalan yang keras. Panji menelentangkan diriku, dan kembali menggila. Dia memasukan kejantannya ke dalam mulutku, dan menggoyangkan pinggulnya.
Aku ingin muntah, membayangkan kejantanan Panji yang beberapa saat lalu masuk kedalam anusku. Aku ingin melepaskan diri, namun tenaga Panji lebih besar daripadaku.
Kejantanan Panji masih saja kuat dan keras, benda tumpul itu tak lelah dan terus menjadi perkasa. Beberapa menit Panji memaksaku mengulum kejantanannya, dan dia berhenti.
Aku menatap penuh luka, namun dia tak peduli. Panji kembali menyerangku, dia memasukan kejantanannya pada lubang kewanitaanku. Dengan paksa, tanpa perasaan, dia bermain kasar. Aku hanya bisa merintih, terasa begitu perih dan tubuhku terasa sakit.
“Pan-ji,”
Aku menutup mata, aku tak sadarkan diri, yang terasa hanya keganasan Panji yang terus bermain kasar.
__
Aku membuka mataku, menatap ke langit-langit kamar. Tubuhku terasa sakit, dan aku merasa tak bisa bergerak apalagi berdiri.
Samar, aku mendengar suara perdebatan dari luar kamarku. Suara seorang wanita menangis dan suara seorang pria yang berulang kali meminta maaf. Aku tak terlalu jelas mendengar suara mereka, kamarku terlalu besar dan kamar ini juga adalah ruang kedap suara. Aku patut bersyukur pintu kamarku tak tertutup rapat. Jika tidak, aku tak akan pernah tahu ada pertengkaran di luar sana.
Aku mencoba untuk duduk, tapi terasa jika tubuhku sangat sakit dan lemah. Ku putuskan untuk menarik napas sejenak, lalu memaksakan diri untuk duduk.
Sakit, apalagi saat aku mencoba untuk berdiri. Daerah kewanitaanku dan bagian anusku terasa begitu menyiksa. Aku meringis, namun masih terus mencoba melangkah mendekati pintu.
“Kau! Kau mengkhianatiku!”
Itu adalah kalimat yang ku dengar sekilas, aku berdiam diri, mengatur napas dan memasang telingaku dengan baik. Celah pintu sedikit terbuka, aku hanya melihat seorang wanita yang kini membelakangiku.
Rambutnya panjang, berwarna hitam pekat dengan tubuh berisi dan payudara yang besar. Kulitnya putih, dan dia cukup menggoda untuk ukuran wanita dewasa.
Mataku juga melihat seorang pria yang ku cintai, dia memasang wajah masam dengan tatapan tajam. Sekilas dapat ku lihat jika ada guratan benci di wajahnya. Entah itu di tujukan kepada siapa, yang pasti aku tak rela jika itu untukku.
“Kau bermain dengan Nona Muda tak tahu diri itu! Aku tak sudi mendapat bekas darinya,”
Pelayan tak tahu diri itu terus mencaci dan menyeret diriku. Ck … manusia memang selalu saja tak bisa bersyukur. Dia menjelekan orang yang memberinya uang dan kehidupan layak, dia menjelekan orang yang telah menyelamatkan dirinya dari belenggu dunia pelacuran.
Sedikit tentang pelayan sialan itu, namanya Corry, dia berumur 22 tahun. Yah, aku menemukannya yang sedang dalam pengejaran beberapa pria berjas hitam. Keadaannya kala itu sangat mengerikan, wajahnya terdapat memar bahkan rambutnya terpotong berantakan, nyaris gundul.
Aku hanya bisa menatapnya ngeri, dan memerintahkan Panji untuk membantunya. Wanita sialan itu tak pernah bisa membalas budi, kali pertama dia masuk ke rumah ini dia merayu ayahku, dan mencuri kalung berlian ibuku.
Darahku mendidih kala mengingat semua itu, aku selalu membelanya bahkan tak mengatakan kepada ibu jika dialah pelaku pencurian saat itu.
Corry adalah anak yatim piatu yang terjebak di dunia hitam, dia di jual oleh pengurus panti karena terlilit hutang.
“Kau selalu saja menjadikanku pelampiasan! Aku hanya ingin dirimu untuk keselamatannya, aku telah berjanji tak menyentuhnya. Kau berkhianat! Pembohong!”
Suara Corry begitu berisik, ku lihat Panji hanya diam, menatap tajam pada wanita di depannya.
“Jika kau menyentuhnya–”
“Aku tak peduli! Aku akan membunuhnya agar hanya aku yang bisa memilikimu!”
Aku ingin tertawa, Corry ingin membunuhku? Dia tak mengenal siapa aku.
“Jika kau menyentuh Nona Muda, maka kau akan mati!”
Rasa bahagia menyeruak di hatiku, aku merasakan cinta Panji sekarang. Dia membelaku, dia melindungiku, dia tak akan pernah berkhianat padaku. Aku tersenyum simpul, senyum yang bahkan aku tak tahu artinya apa.
PLAK!!!
Suara tamparan menggema, aku tak tahu rasanya seperti apa. Yang aku tahu, Corry merasa kesakitan. Ku tatap Panji yang masih menggertakan giginya, dia terlihat begitu marah dan membenci Corry.
“Kau menamparku?”
Kalimat itu menggantung, aku hanya menunggu kelanjutannya dan mendengar jawaban Panji.
“Iya! Aku menamparmu! Kau membuatku gerah Corry! Aku sudah mengatakan, aku mencintaimu! Aku hanya milikmu! Aku melindungi Nona Muda karena dia anak Tuan dan Nyonya besar!”
“Kenapa kau bercinta dengannya hah! Kenapa?”
“Karena dia memaksa, dan aku juga melakukan hal kasar agar dia jera dan menjauh dariku, menghapus rasa cintanya padaku dan bisa menerima pernikahan kita dengan lapang dada!”
Aku terdiam, hatiku hancur, rasanya begitu sakit. Aku tak bisa menjelaskan rasa sakitnya, tapi aku tak bisa menangis, aku tak bisa berkata apapun.
Apa yang ia lakukan hanya sebuah tanggung jawab, dia tidak mencintaiku, dia tidak menginginkanku! Apa yang ia lakukan hanya sebuah tugas dan tanggung jawab, dia hanya orang yang profesional dalam pekerjaannya, dia pria yang menjadi cinta pertama dan cinta yang menghancurkanku.
Mataku menatap benci pada kedua orang di depan pintu, mereka berpelukan dan Corry menangis. Panji memeluk erat pelayan sialan itu, mengucapkan kata cinta puluhan kali dalam satu menit.
“Maafkan aku,”
Suara Panji membuatku sadar, aku tak bisa terus berdiri disini, aku harus kembali ke ranjang dan memulihkan tenaga.
__
Beberapa jam berlalu, aku masih berbaring dan memikirkan banyak cara untuk mengakhiri semua sakit hatiku. Mataku terbuka, menatap ruangan sepi yang kini hanya ada kesepian. Pintu kamarku sudah tertutup rapat, dan tubuhku sudah lebih baik.
‘Aku mencintaimu!’
Kata-kata itu terdengar begitu jelas, adegan menyakitkan itu terbentang dan membuat hatiku semakin hancur.
‘Maafkan aku,’
Kata maaf itu terdengar begitu tulus, dan itu bukan untukku.
Tak bisakah Panji memikirkan perasaanku?
Tak bisakah Panji berbalik dan memelukku? Salahkah jika aku egois?
Ribuan pertanyaan terus menghantuiku, jutaan luka masih berbekas dan berdarah di hatiku.
Apa yang bisa ku lakukan? Mati? Apa aku harus mati agar Panji menyadari cintaku begitu tulus.
Ku pejamkan mataku, ku pijat keningku dan mengembuskan napas dengan kasar.
Aku haus, di mana pelayan sialan itu? Seharusnya dia melayaniku.
Ku putuskan untuk berdiri, keluar dan pergi ke dapur. Aku tak melihat para pelayan, di mana mereka?
Perlahan ku ingat jika ini sudah tengah malam dan mereka pasti sudah terlelap.
Kakiku perlahan melangkah, menuruni anak tangga dan meringis sakit. Rasanya masih tak nyaman, dan aku tetap harus menahannya.
“Achh … Pan-ji, ahhh lebih dalam, ah …”
Telingaku mendengar suara desahan dari arah kolam renang. Ku putuskan untuk menghampiri sumber suara, ku lihat di balik pintu kaca dua orang sedang bercinta. Sakit, lagi dan lagi kurasakan luka itu.
Panji dan Corry saling memuaskan, mereka melakukan hubungan badan dengan penuh cinta.
Desahan demi desahan terdengar begitu menyakitkan bagiku, desahan Panji yang penuh cinta dan desahan Corry yang penuh kepuasan.
Ku pukul bagian dadaku, sesak! Aku ingin menangis, aku ingin memaki, aku ingin melakukan segalanya. Aku hanya terpaku, menertawakan diriku sendiri.
Dengan cepat, aku berbalik. Melangkah cepat tanpa memikirkan rasa sakit, otakku memerintahkan untuk berlari dan kakiku melakukannya.
Brak!
Pintu kamarku terbuka, tak memikirkan apapun hanya ada satu tujuanku. Tanganku membuka lemari dengan cepat kuraih beretta px4, senjata andalan yang ayah berikan padaku, aku tak selemah itu.
Rasa benci menguasai hatiku, emosiku tak terbendung, aku kembali berlari dan menuruni tangga. Kuarahkan senjataku pada dua orang menjijikan itu, tak peduli seberapa besar aku mencintai Panji, tak peduli seberapa besar aku mengasihani jalang bernama Corry.
DOR!!!
DOR!!!
Dua tembakan lolos, menghancurkan kepala dua manusia sialan itu. Ku dengar suara ribut dari arah belakang, dan aku hanya membalik tubuhku, mengabaikan para pelayan yang menatapku ngeri.
Panji dan Corry, dua manusia sialan itu mati ditanganku, dalam keadaan telanjang bersimbah darah.
Cinta itu mengerikan, cinta itu menyakitkan, dan cinta ini yang membuatku menjadi pembunuh. Selamat tinggal semoga neraka menerima kalian!
TAMAT
,,,,,,,,,,,,,,,,